Monkey Pucker Up Kissy
You Are Now A Rypolkazer. Follow me on Twitter @Devina_Kaulitz

Cerpen By Devina (2)


Sesal


            “Rambutnya tebel ya ,Ta. Jaketnya kemarin yang warna biru pasti lagi di cuci. Itu sekarang dia pake jaket warna abu-abu, aku berani taruhan besok dia pake yang warna biru tua dengan tulisan ‘Beat’ warna hitam . Oh my God.. cara jalan dia cool banget. Salah satu tangannya selalu aja di masukin dalam kantong celananya... Ya ampun ,Ta . Senyumnya manis gila.. Ta! Ta! Dia liat aku ! Resta!”

            “Hah? Apaan ,Vin?” Resta mengalihkan pandangan matanya ke arah wajahku yang mulai terlihat jengkel.

            “Dengerin aku ga sih?” Mulutku mencibir. Dari raut wajah Resta udah bisa ditebak, pasti dia ga dengarin aku lagi. “ Udah bosen ya dengerin aku ngoceh tentang dia?” tanyaku sebelum sempat Resta menjawab pertanyaan pertamaku tadi.

            “Iya, iya. Sorry, habis tadi ada Daniel di depan kelas. Hehehehe...” jawab Resta sambil menyungingkan senyum kepada seorang cowok kurus yang lagi berdiri didepan kelas 9.2. Daniel. Yah, belakangan ini memang Resta lagi deket banget sama Daniel. Katanya sih Daniel suka sama Resta, tapi sayangnya sahabatku yang satu ini suka banget jual mahal.

            “Ciee! Dia senyum balik ,Tuh!” godaku genit.

            “Ih! Apaan sih! Sudah ah! By the way tadi kamu manggil aku kenapa?” tanya Resta dengan muka polos minta di jitak. Aku langsung mengadahkan kepalaku ke lapangan tengah sekolah, kemudian mataku melihat kantin di ujung lapangan. Nihil. Wajahku tambah cemberut , rasanya kesal banget. Padahal mata ini belum puas ngeliatin cowok itu. “Engga ada .Lupain aja” Jawabku singkat.

            Kring.....Kring....

            “Vin, udah bel. Masuk yok!” Resta menarik pergelangan tanganku . Menjauh dari balkon favoritku yang strategis  dimana aku bisa ngeliatin cowok itu dengan sepuas yang ku mau.

****

            Warna oren mendominasi warna langit sekarang ini. Aku berjalan tergopoh-gopoh ke sebuah meja yang terletak di jalan masuk aula sekolah. Panggung, dekorasi , soundsystem dan segala perlengkapan acara Prom Night malam ini sudah siap. Para pasangan telah berbaris di depan meja penerimaan tamu. Mereka yang biasa kulihat dengan baju seragam sekolah, sekarang tampak anggun dan keren sekali . Banyak cowok-cowoknya memakai kemeja , dan dasi yang menggantung gagah di lingkaran leher mereka, ditambah dengan jas hitam sebagai penambah luaran baju mereka. Apalagi cewek-ceweknya, dress yang melekat di tubuh mereka lebih bervariasi.

            “Mulai yuk , pendaftarannya” Suara Vincent membuatku tersadar.  Vincent, bukan, dia bukan pasangan Prom Nightku. Aku dan dia Cuma ditugaskan untuk menerima tamu Prom Night.

            “Ya sudah.”  Aku melambaikan tangan memberi aba-aba kepada para tamu bahwa mereka sudah bisa mengisi daftar kedatangan sekarang.

            Yang hadir memang tidak begitu banyak. Hanya sekitar 115 pasangan . Namun, segitu saja sudah hampir memenuhi Aula sekolah yang lima menit lalu masih kosong.


****

            Tiga puluh menit , acara telah berlangsung. Kemana dia? Iya, dimana cowok itu? Langit benar-benar sudah menghitam. Tidak banyak bintang yang berserakan . Hanya bulan sabit yang melengkung anggun dan bersinar terang yang menghiasi langit malam kali ini. Lagu demi lagu yang mengiringi acara malam ini terdengar samar-samar dari luar aula. Kenapa aku tidak masuk saja? Bercanda , menari, tertawa dan bersenang-senang dengan teman-teman lainnya? Padahal, Vincent sudah mengajakku untuk bergabung tadi. Cuma, aku masih menunggu dia.

Tetesan air mata mulai mengalir di kedua pipiku. Pilu yang kurasakan saat ini. Aku hanya bisa mengenang. Berharap , sangat-sangat berharap dia akan datang malam ini. Kemungkinan itu memanglah kecil adanya.

“Vin... Kamu mau minum?” suara yang sudah sangat kuhafal. Resta . Sahabatku ini memang selalu ada di saat hatiku gundah seperti ini.

“Resta...” sekarang alis matanya melengkung penuh keprihatinan. Dia melihat jelas wajahku yang basah. Disodorkannya sehelai tisu kepadaku. Aku semakin menangis. Benar-benar tidak sanggup lagi. Resta merangkul pundakku, aku menangis sejadi-jadinya di pundaknya. Malam itu , malam valentine dimana pasangan harusnya berbagi tawa dan canda. Tapi, bagiku malam ini, hanyalah hari Sabtu biasa, hari dimana aku benar-benar merasa sangat kehilangan.

“Sudahlah ,Vin. Semuanya kan sudah terjadi. Waktu ga bisa di ulang kembali.” Kurasakan tangannya mengelus-elus punggungku. Resta benar. Namun, ucapan itu malahan membuatku semakin terpuruk. Apakah masih bisa semua diulang dari awal? Apakah aku bisa membalikkan waktu? Semua kenyatan bahwa aku tentu tidak  bisa melakukannya membuat hatiku teriris. Mataku tidak henti-hentinya mengeluarkan air mata.  Sejenak, aku mengangkat kepalaku untuk menormalkan pernafasanku.

Aku terdiam. Tatapanku kosong. Rasanya semuanya susah diterima. Bisa kah aku dan dia bersama lagi setelah apa yang telah aku lakuin? Dikepalaku menghujam seribu tanya tentang hubunganku dengannya. Aku benar –benar ingin dia berada disini sekarang.

“Aku mau pulang” Resta hanya terbengong mendengar jawabanku.Namun kemudian dia mengerti. Dia mengeluarkan handphonenya dari sakunya dan menyodorkannya ke aku  “Pakai aja handphone ku”. Tanpa menjawab apa-apa, aku langsung menelepon Mama ku.

“Ma, jemput aku sekarang” pintaku cepat.

“Sekarang?” tanya Mamaku ragu

“Iya.” Aku meyakinkan mamaku, kuusahakan agar suaraku terdengar normal.

“Tunggu ya sekitar 20 menit lagi. Nanti mama jemput. Bye”

“Bye”

Aku menutup telepon dan memberikannya kembali kepada Resta. Aku hanya membisu. Aku ingin pulang , aku tidak bisa menunggu seperti ini lagi.

“Vin..” Resta memanggilku pelan. Perasaanku sedikit aneh mendengar cara Resta memanggilku.

Tiba-tiba aku menyadari sesosok lelaki dengan kemeja biru berjalan mendekatiku. Dia...

“Hai” suaranya yang berat yang benar-benar aku rindukan meledakkan jantungku. “Hai” balasku pelan. Ya Tuhan.. perasaanku benar-benar campur aduk sekarang.

Resta menyunggingkan senyum kecil . Dia berjalan menjauh dari kami. Aku hanya menunduk. Aku sama sekali tidak tahu harus berbuat apa. Senangnya bukan main.

“Ehm, tadi aku barusan mampir ke warung, aku bawaain ini buat kamu.” Dia duduk di depanku dan mengeluarkan sebuah coklat chunky bar warna hitam dari tas nya. Meletakkanya di atas meja , mendorongnya mendekat ke tanganku. Aku hanya terpana melihat coklat itu. Apa kah aku mimpi? Apa ini jawaban atas doaku? Ini kenyataan? Atau aku yang sudah mulai berkhayal terlalu jauh?

“Makasih. Bukan, bukannya ka-kamu sibuk? Kok bisa datang kesini?” tanganku hanya memegang coklat itu tanpa membukanya. Aku mencoba untuk membuka percakapan. Suaraku terbata. Aku benar-benar tidak merasakan tanah.

“Tadi aku sempetin dateng kesini” jawabnya singkat. Aroma ini, aroma tubuhnya yang khas. Aku sangat merindukannya. Aku mengirup sangat dalam aroma tersebut . Seakan berharap aroma tersebut dapat kusimpan dihidungku. Aku hanya tertunduk malu. Aku tidak berani menatap matanya. Aku tidak berani mengangkat kepalaku sendiri.

“Kenapa coklatnya dibiarin? Sini, aku bukain” dia mengambil coklat itu dari atas meja. Aku menatap setiap gerakan tangannya. Dia menyobek karton coklat, menarik keluar coklat yang masih terbungkus kertas bewarna emas . “Aku belah dua ya?” aku hanya mengangguk kecil. Dia membelah coklatnya menjadi dua bagian. “Mau yang mana?” dia menawarkanku. Aku hanya mengulurkan tanganku mengambil belahan coklat yang dia pegang di tangan kanannya.

Rasanya benar-benar mimpi. Aku tidak menyangka ini bakal terjadi. Dua bulan lalu adalah terakhir aku dan dia duduk sedekat ini. Rasa bahagia benar-benar tumbuh kembali. Dia membuka obrolan-obrolan ringan. Dan aku, mulai terbiasa kembali untuk berbicara dengannya. Menikmati setiap detik-detik acara prom berakhir. Ini yang aku rindukan . Setiap pendapat yang dia keluarkan, setiap cerita , setiap tatapan yang dia berikan, dan setiap humor yang dia ucapkan. Dan aku setengah percaya bahwa sekarang aku merasakannya .Kembali.

 Sayangnya, hanya satu jam aku dan dia bersama. Acara prom telah selesai . Tepat pukul sembilan malam.

“Kamu kesana gih sama temen-temen, biar aku pulang” kalimat ini dulu selalu keluar dari mulutnya kalau dia ingin pulang. Dan aku memberikan jawaban yang sama seperti biasanya dulu.

“Sudah , pulang aja. Toh , kamu kan sibuk. Nanti pas kamu pergi aku juga ke sana kok”

Hatiku bergejolak penuh harap. Aku berharap dia mengucapkan kata yang mengembalikan hubunganku dengannya. Semenit, dua menit, tiga menit. Namun, dia hanya membisu. Dia kemudian hanya mengulangi perintah yang sama padaku, begitu juga aku. Hingga akhirnya , ia memutuskan untuk pergi . Dan aku tidak sama sekali mendapatkan kata-kata yang kuharapkan. Andai dia berkata “ Aku rindu kita yang dulu “. Namun, kenyataannya, tak ada kata-kata yang menjawab setiap pertanyaanku.

                                                                        ***

“Vin, gimana ? Seneng yaa?? Hehehehe” Resta menepuk pundakku. “Seneng, Cuma aku ngerasa ada yang masih belum plong. Eh, mama aku?” aku menepuk jidat , menyadari bahwa aku lupa mengabari mamaku bahwa aku tidak jadi dijemput secepat itu.

            “Tenang aja, udah aku kasih tau tadi lewat sms. Mamamu bilang oke. Entar lagi dijemput kok. Maksud kamu masih belum plong apa?”

Aku hanya terdiam. Tadi itu memang menyenangkan. Tapi perasaanku berkata, itu bukan jawaban atas semuanya.

                                                            ***


            Lampu jalan memancarkan sinar remang-remang. Angin terasa menusuk-nusuk kulitkuyang tidak tertutup. Melangkah menyusuri pinggir jalan. Senyum besarku melekat erat di wajahku sepanjang jalan pulang. Sambil sesekali melakukan lompatan-lompatan kecil . Bersiul kecil, membayangkan momen indah yang seperti mukjizat tadi.

            Grrr...grrr...

            Handphone yang sedari tadi ada di saku dressku bergetar. Kulihat nama yang tertera di layar handphone. Dia? Jantungku berdegup kencang. Berjuta pertanyaan dan bermilyaran perkiraan muncul dalam benakku. Kenapa?

            “Halo, Der. Kenapa?”

            “Halo, Vin. Aku cuma mau bilang. Aku ngelakuin itu semua..”

Deg! Aku benar-benar senang sekali. Apakah benar dia akan kembali lagi ?

            “Kita cuma sekedar teman. Aku engga mau ngeliat kamu galau lagi. Udah dulu ya ,Vin.Aku senang kalau kamu senang. Bye”

            Tuut...tut...

            Bisu. Aku hanya mematung.

Dia dan aku, pernah memang bersama. Dekat sekali. Dia seorang yang humoris. Tawaku selalu mebludak saat bersama berbagi cerita dengannya. Dia seorang yang perhatian. Luluh rasanya hati ini setiap kali dia menanyakan hal-hal tentangku yang membuatnya khawatir. Semula, hariku memang biasa-biasa saja, malah terkesan membosankan. Namun, sejak kenal dengannya, berbeda rasanya. Rasanya itu, semangat 45 selalu menemani ku dikala bangun setiap paginya. Lagu-lagu seperti All About Us, Forever More, Thousand Years terdengar lebih romantis dari pada biasanya.Rasanya terlalu indah

            Tapi, Itu dulu. Bodohku saat semua keindahan itu berjalan selama tiga bulan lamanya, aku putuskan untuk meruntuhkannya. Aku? Iya, aku sendiri yang menghancurkannya, membuat hubungan itu menjadi pecah berkeping-keping. Aku dengan kebodohanku meninggalkannya hanya karena kejenuhanku dan emosi sesaatku. Aku tidak suka dengan caranya yang terlalu membanding-bandingkan aku dengan yang dulu. Dan, saat itulah tepat di bulan Januari. Aku putuskan untuk meninggalkan semuanya. Semua kenangan, menghilangkan semua memori indahku bersamanya . Aku bahkan membiarkannya merasakan sakit yang mendalam setelah mengetahui bahwa aku tidak bisa melanjutkan hubungan seperti ini dengannya. Aku keluarkan semua alasan bodoh yang tidak benar-benar keluar dari hatiku. Alasan fokus belajar , alasan ketinggalan pelajaran dan omong kosong lainnya. Tega. Saat itu aku benar-benar tega. Membiarkannya terpuruk , bersedih ,terluka. Begitu besar pengorbanannya padaku. Dia yang memulai , dan saat itu aku yang mengakhiri dengan kepedihan.

Awalnya, dia masih ingin berkomunikasi denganku. Namun , aku yang masih dikuasai emosi ku, tidak sama sekali peduli. Aku seakan melemparkannya jauh dari hidupku. Aku seakan menghancurkan segala harapannya. Keterlaluan sudah. Aku sama sekali tidak berfikir panjang atas berbuatanku itu. Hingga saat aku memintanya kembali, dia menolak .

            Dan kini aku merasakannya. Saat terluka. Saat merasa dikhianati. Saat merasa disakiti. Saat semua harapan yang dibangun hancur. Penyesalan menyelimuti hatiku. Rasa sesal yang tertinggal sekarang. Sesal...



0 komentar:



Posting Komentar