Monkey Pucker Up Kissy
You Are Now A Rypolkazer. Follow me on Twitter @Devina_Kaulitz

Cerpen By Devina (3)


Sulit

                Cahaya matahari menembus kaca jendelaku. Drag! Ku dengar  bunyi jendela dibuka, dan seketika aroma rumput hijau, hangat pagi dan angin yang sejuk menyeruak memenuhhi ruangan kamarku yang tidak begitu besar. Kelopak mataku tak kuat lagi untuk menutup. Ah.. jam berapa ini? Mataku berkedip-kedip. Penglihatanku benar-benar masih buruk, mataku tidak dapat menerima cahaya matahari pagi yang begitu frontal menghadang wajahku.
                “ Elie, ini udah  jam tujuh loh.. Bangun dong, masa anak cewek bangunnya siang?” suara yang sangat kukenal seakan menjawab pertanyaan yang ada dikepalaku ‘jam berapa ini?’ . Aku mengucek kedua mataku. Nah,, sekarang lebih jelas.
                “ Iya, Ma. Ini juga Ellie udah bangun..” aku berjalan sempoyongan. Tulang-tulang tubuhku masih sangat lemah rasanya. Ah.. aku benci bangun pagi , gumamku dalam hati. Aku berjalan menuju kamar mandi, sementara Bunda melangkah keluar ruangan pribadiku ini.
                Brr.. brr.. tanganku mendekap erat handuk yang menyelubungi tubuhku. Gigiku bergetar. Sungguh, pagi ini dingin sekali. Aku duduk sebentar diatas tempat tidurku , mencoba untuk menghangatkan diri. Mataku tidak sengaja menatap layar handphoneku yang berkelap-kelip. Ada message? Pasti dari Bram.. Huh.. gumamku dalam hati.
                                                                                    ***
                “ Kok kamu ga bales pesan aku? Kamu kenapa?” Suara disebrang sana segera menyerobot masuk ke telingaku sebelum aku sempat menyapa ‘Halo’.
                “ Aduh, sorry Bram. Memangnya ada apa , Bram ?” Aku mencoba mengalihkan pembicaraan tentang pesan itu. Tapi, kedenngarannya tidak akan berhasil. Bram masih mengungkit-ungkitnya lagi.
                “ Kok kamu jadi berubah gitu ? Ada apa? Cerita dong.. “ Dia membuatku benar-benar risih. Haruskah dia se-kepo itu ? keluhku dalam hati. Sesaat keheningan  mengisi konversasi kami berdua. Kemudian, dia melanjutkan kata-katanya lagi yang bagiku seperti ocehan.
                “ Aku mau ketemu sama kamu. Di Tekko restaurant, entar malem. Aku jemput kamu jam lima ya ?” Deg! Buat apa dia ngajak aku ke sana? Aku berpikir keras. Aku mengigit bibir bawaku mencoba mencari jawaban yang tepat untuk menolak. Tapi, perasaanku tak tega.
                “ Oke deh, Bram. Sip, aku tunggu . “ aku menghela nafas panjang. Apapun yang terjadi nanti, terjadilah..  
                “ Sip, Bye Ellie..” dia mengucapkan salam terakhir, yang menurutku selalu kedengaran manis.
                “Bye Bram.” Jawabku singkat.
                                                                           ***
                Aku menghempaskan tubuhku di atas kasur. Hari libur begini enaknya ngapain ya?  Wajahku benar-benar menunjukan kebosanan yang sangat. Jam di dinding masih menunjukan pukul 12 siang. Sebenarnya, aku benar-benar tidak ingin bertemu dengan Bram. Pikiranku melayang tentang Bram. Bram, bukan, dia bukan cowokku. Tidak ada ikatan resmi apapun diantara kami. Mungkin lebih tepatnya HTS = Hubungan Tanpa Status.  Tapi, aku engga mengakui hal itu. Mungkin dia yang berpikiran demikian. Aku hanya menganggapnya sebagai ‘teman’ walau kadang aku suka dengan perhatiannya kepadaku. Aku masih sulit .. Sulit untuk menempatkannya di hatiku..
                                                                      ***
                “ Bram, “ aku menarik nafas panjang, dan menghembuskannya pelan. Semua keberanian aku kumpulkan . Aku tahu akan ada hal besar diantara aku dan dia setelah aku menyatakan ini. Namun, aku yakin , aku tidak mau lagi menyiksa diriku. Jawaban ini, memang benar-benar tepat.
                “ Aku menganggap semuanya, layaknya teman.” Kediaman mengisi kekosongan percakapan kami setelah kata-kata itu aku keluarkan dari mulutku. Sial, kenapa dia jadi diem begini? Aku ingin benar-benar pulang sekarang. Ayolah, bicara sesuatu agar semua ini cepat selesai!.. gerutuku dalam hati.
                “ Orang-orang memang benar ternyata” Bram berkata pelan . ia menatap mataku lekat-lekat.
                Orang-orang ? Apa maksudnya? Apa dia akan menyinggung sifatku yang sering mengecewakan laki-laki.. Oh, dan kini dia termakan gosip itu? Sial..  Pikiranku kacau. Ingin sekali aku angkat kaki secepat kilat dari tempat ini. Restaurant ini biasanya memberikan nuansa santai, sekarang sangat meneganggkan.
                “ Kamu, kamu kenapa ngelakuin ini? Apa hati kamu emang  sekeras batu? Atau memang tujuan kamu begini sama setiap laki-laki yang udah sayang sama kamu?” dia bertanya dengan tatapan yang masih tajam ke arahku.
                “ Kamu!..” aku berhenti. Hampir saja emosi menyelimuti diriku. Aku memperbaiki cara dudukku. Kemudian aku lanjutkan perkataanku dengan suara tertahan .
                “ Kamu ga tahu apa-apa tentang aku. Engga sama sekali. Kamu sama aja, berfikir bahwa aku ini jahat! Aku ini seperti player! Aku tahu, udah banyak memang cowo-cowo yang dekat denganku yang hatinya sering aku sakiti karena penolakan. Hati ga bisa dipaksain,Bram! Ga bisa! Aku mau pulang. Maafkan aku buat semuanya. Aku benar-benar tidak bermaksud demikian..” Mataku panas, aku tidak kuat menahan lagi semua kekecewaan dihati aku. Aku tidak peduli lagi, gosip apa yang akan menimpaku dihari-hari berikutnya. Setidaknya Bram tahu, aku engga bermaksud untuk melukainya. Apa salahnya aku menolak mereka?..
                                                                            ***
                Langit sore seperti ini menyejukkan perasaanku yang masih pedih. Aku tidak terbiasa untuk mencurahkan perasaan ku kepada orang-orang sekitar, ataupun teman-teman dekatku. Aku mematikan handphoneku , hari ini aku tidak mau diganggu oleh siapapun. Aku duduk dibawah pohon , menatap langit kemerahan, menatap kotaku sendiri. Aku mencoba  menenangkan pikiranku. Kejadian kemarin masih terus terulang dikepalaku. Aku terlalu terbawa emosi sepertinya.  Tidak seharusnya  kata-kataku sekasar itu. Tidak seharusnya aku menuduhnya seperti itu. Ah.. sudahlah.. semua udah terjadi.. aku termenung. Aku sudah menyadari hal ini akan terjadi. Mungkin, aku akan berhenti untuk memasukkan mereka kedalam kehidupanku. Aku masih belum bisa membuka hatiku. Sulit, sulit benar. Setetes air mata mengalir dipipi kanan dan kiriku. Semakin lama , semakin deras. Salahkah aku kalau masih merindukan yang seharusnya aku lupakan? Bisikku dalam hati. Aku kira, aku sudah dapat menerima kenyataan ini. Aku kira, semuanya sudah berjalan biasa saja. Tapi, kali ini aku akui, semua pendapatku itu salah. Aku belum sepenuhnya menerima kenyataan. Sulit..
                Aku berhenti untuk bercerita kepada orang-orang terdekatku. Semua usaha itu percuma. Menceritakan masalahku ini hanya membuat bibirku lelah saja. Tidak ada sebuah jalan keluar yang kudapatkan. Serasa semuanya itu tidak berguna untuk diceritakan. Mereka tidak mengubah apapun. Mereka hanya mengeluarkan nasihat yang sama yang membuatku muak.Itulah mengapa aku putuskan untuk diam. Waktu memang jawaban yang tepat untuk semua kegundahan hatiku, tapi kini ku rasakan waktu tidak berperan banyak dalam perasaan ini. Dari dulu, sejak dulu, lama sekali, aku yakin waktu akan menghapus semuanya. Membawa pergi semua rasa dalam hatiku. Semula, aku yakin waktu akan membuatku berdiri tegak, dengan gelak-tawa yang dulunya sering menghiasi hidupku. Aku sudah beranjak dewasa. Namun, hatiku seakan tidak beranjak untuk bangun.
                Ini hari kelahiranku. Hari dimana seharusnya aku bisa tertawa, memberikan senyum termanisku kepada semua orang yang kukenal. Usiaku sudah 17 tahun. Seharusnya, aku pulang sekarang. Merayakan sweet-seventeen berasama teman-temanku lainnya. Huh... Kini, wajahku benar-benar basah.
                                                                                       ***
                “Ellie, aku mohon, kasih aku kesempatan.. “ suara beratnya menancap tajam ke telingaku.
                “ Dari awal aku sudah bilang sama kamu , bukan? Aku sudah membatasi percakapan kita sehingga kamu tidak menganggap aku memberikan harapan kepadamu. “ aku menjawab sambil membuka lembaran buku sejarah yang baru saja aku ambil dari rak paling kiri perpustakaan.
                “Aku tahu, El. Apa kamu engga mau ngasih aku kesempatan ?” ia mengulang kembali pertanyaannya. Matanya menatapku lamat-lamat. Aku mencoba memfokuskan tatapanku pada buku sejarah yang terbaring terbuka diatas meja.
                “ El?” dia memanggil namaku pelan. Tak sabar akan jawabanku.
                Aku meletakkan kaca mataku ke dalam kotaknya. Menutup buku sejarahku. Semua emosi tertahan di tenggorokanku. Ingin rasanya aku meluapkannya. Namun, ini perpustakaan , lagian aku tidak ingin menyakiti orang-orang dengan perkataanku. Kini, mataku menatapnya tajam. Aku meyakinkannya bahwa aku benar-benar tidak ingin mempunyai hubungan apa-apa.
                “Maaf, jangan paksa aku, Vid. “ aku beranjak dari kursiku. Meninggalkan buku sejarah yang tadinya ingin aku pinjam. Langkahku aku percepat. Aku tidak ingin dia mengejarku dan menutupi jalanku.
                                                                                ***
                “ Gue mau ngomong, Bro. “ suara sebrang sana terdengar sangat serak. Seakan habis menangis semalaman.
                “He-eh, ngomong aja , Vid. Kenapa sih? “ Eric menaikkan alis mata kanannya. Ia sibuk mengganti channel tv-nya.
                “ Ke alun-alun lah sekarang. Gue beneran mau ngomong. “ pinta Vidi ini membuat Eric semakin penasaran.
                “ Ngomong aja lah. Masa pake ketemuan segala nih. “ Eric membentukan cara duduknya. Ia mengambil segelas air putih yang sedari tadi ada di atas meja.
                “ Ah.. lu kan temen gue. Ayolah..” suara bujukannya  membuat Eric segera mematikan televisinya.
                “ Iya, iya ini gue mau berangkat. “ Eric mematikan teleponnya. Ia mengganti pakaiannya, mengambil  dompetnya yang terbaring di atas kasurnya. Langkahnya cepat menuruni tangga. Mengucapkan salam pada Ibunya dan mengambil kunci motor Scoopy-nya dari laci meja ruang tamu.
                Kira-kira Vidi mau ngomong apaan?..
                                                                                        ***

                Matanya berkaca-kaca. Helm LTD hitamnya ia letakkan disamping kakinya. Ia menyembunyikan tengisanya, ia tidak mau terlihat seperti cowo culun yang cengeng didepan sahabatnya , Eric. Dia dan Eric memang teman yang dekat, mereka berdua dekat sejak  MOS SMA tahun lalu.
                “ Yaelah, Vid.. Cewe kan banyak di dunia ini. Mungkin aja kan, dia lagi engga pingin punya pacar. Kalau jomblo , lu ga mati juga kan? “ Eric mencoba menghibur partner dekatnya itu dengan gaya StayCool –nya.
                Vidi mengusap air matanya. Jujur, sebenarnya dia malu kalau harus menangis seperti ini. Cuma, beginilah dia, selalu terbawa suasana.
                “ Lagian siapa sih cewenya? Gue jadi penasaran. Katanya anak 11-1 ? “ Eric mulai mengkerutkan dahinya.
                “Ellie” Vidi menjawab singkat. Menahan tangis yang sepertinya akan semakin banyak mengalir .
                Deg! Jantung Eric berdetak kencang. Ellie? Sudah lama dia tidak mendengar kabar dari gadis satu ini. Pikirannya kini mulai melayang jauh. Ellie? Kenapa baru kali ini dia ingat tentang gadis itu lagi. Selama ini, tidak pernah ia melihatnya lagi, atau memang dia yang telah tidak peduli dengan gadis ini, gadis yang telah..
                “ Woy, Eric? Eriiic? Lu kenapa ngelamun gitu?”  Eric melonjat kaget.
                “Ah? Kenapa? Engga papa hahaha “ Eric mencoba bersikap biasa. “Memang dia digosipin player ya? Kok bisa? “ Tanya Eric penasaran.
                “ Iya , aku denger sih gosipnya, dulu Bram yang pernah PDKT sama dia , dan saat di tembak, si Ellie malah nolak mentah-mentah , yah si Ellie bilang , hati itu ga bisa dipaksain . Nah, terus , gue pernah nanya-nanya sama sahabatnya, katanya sih, dia ga bisa ngelupain masa lalunya gitu. Entah masa lalu apa, ga ada yang ngasih tau lebih jelasnya ke gue.Kata temen-temen dekatnya si Ellie itu tertutup banget”  Hidung Vidi kini seperti udang rebus, walaupun tangisannya kini udah raib, mungkin dia udah merasa lebih tenang.
                Ellie? ..

                                                                                     ***
                Parkiran sekolah kini sudah benar-benar sepi. Aku menjinjing buku-buku tebal dan beberapa kertas fotokopian . Ugh, berat sekali!  Keluhku dalam hati. Aku mempercepat langkahku menuju mobil Mini-Cooper warna merah yang merupakan satu-satunya mobil diparkiran sekolah. Aku melirik jam tanganku. Jam lima sore, langit udah tampak buram. Angin berhembus lebih cepat dan dingin sekali. Bakalan hujan nih?   Aku berlari kecil . Tapi, tiba-tiba ketika aku mulai dekat dengan mobilku. Aku merasakan seseorang menepuk pundakku . Deg! Siapa itu? Aku berhenti sejenak, membalikkan badanku pelan-pelan. Deg! Ini sudah sekian lamanya jantungku tidak pernah berdegub sangat-sangat keras saat berhadapan dengan seseorang . Dia... Dulu, aku lebih tinggi dari pada dia, saat berjalan berdampingan, itu bisa kelihatan. Namun, sekarang, dia berhadapan dengan seseorang yang lama tidak pernah berada disampingnya, dan ia sudah lebih tinggi dari pada aku.
                Hening. Sepi sekali. Hanya ada aku dan dia di tengah-tengah lapangan parkir seluas ini. Dia tersenyum padaku, membuat jantungku benar-benar berdegub lebih kencang lagi. Ya Tuhan, apa ini mimpi? Aku membalas senyumnya. Oh tidak..  tatapan yang sudah lama aku rindukan..
                “Sini , aku bawain.. “ dia mengulurkan tangannya . Aku hanya mengangguk kecil, bibirku seakan membeku. Dia mengambil sebagian buku dari tanganku. Dan , kini tanganku lebih leluasa bergerak.  Kami berjalan menuju mobilku. Ku buka pintu mobil tersebut, dan kubiarkan dia menaruh buku itu diluan, kemudian aku. Setelah itu aku menutup pintu mobilku, dan kini tangannku benar-benar dingin.
                “Aku mau bicara.. “ raut wajahnya berubah menjadi serius.
                “Bi-bicara, ten-tentang apa? “ Oh tidak.. Aku mulai berbicara dengan terbata-bata. Dia teridiam sesaat .
                “ Er.. Ellie, Aku kecewa.. Aku kecewa kamu sudah berubah jadi begini. Aku kira kamu bisa mengambil semua pelajaran dari masa lalu kita. Tapi, aku engga nyangka, kamu jadi berbeda dari dulu.. Kamu kenapa? Kenapa kamu jadi nyakitin banyak orang?”
                Aku terdiam, mataku nanar. Sungguh, aku tidak menyangka dia akan mengatakan hal ini. Jujur, aku mengharapkan ada kata-kata lain yang dia ucapkan. Mataku tidak berani mentapnya. Aku menunduk, menutupi pandangannya dari mataku yang mulai berkaca-kaca.
                Ellie, ayo katakan sesuatu.. kenapa lidahku seakan membeku? Gerutuku dalam hati.
                “ Aku ga mau ngeliat kamu jadi begini. Yang lalu, biarlah berlalu. Semua udah terjadi, antara kamu, aku .”
                Hatiku bergejolak, bercampur aduk. Emosi ku yang mudah terpancing kini benar-benar sudah berada diambang bibirku. Aku tidak kuat menahan semuanya. Ini mungkin waktunya..
                “ Iya semuanya sudah terjadi. Aku tahu, apa kamu ga bisa berhenti ingetin aku kalau semuanya udah terjadi? Aku juga ga bodoh-bodoh amat . Aku tahu kok. Aku tahu. Dan, kamu salah satu orang yang masih termakan gosip tentang aku, terserah kamu mau mikir apa. Terserah!” aku tidak dapat lagi mengatur volume suaraku. Air mata membanjiri pipiku.
                “ Ellie.. bukan maksud aku..”
                “ Apa? Kamu mau aku ngaku , hah? Oke, aku ngaku sekarang! Aku memang masih punya perasaan. Dan aku ga tau kenapa aku ga bisa melupakan semuanya. Aku tahu dulu itu salah aku, aku tahu kamu benci sama aku. Aku tahu yang aku lakuin itu bodoh banget ! Aku udah nyia-nyiain segalanya. Dan, hal yang lebih bodohnya lagi, aku membiarkan saja semua masalah itu terkubur dalam-dalam ,aku pura-pura udah benar-benar pulih! Dan kamu tahu kenapa aku nyakitin mereka? Aku biarkan mereka masuk dalam kehidupan aku. Aku biarkan mereka merebut hati aku. Membiarkan mereka melelehkan kerasnya hati aku. Jangan kira aku ga berusaha untuk ngeluapain kamu dan semua kenangan busuk itu! Aku semula berharap salah satu dari mereka bisa menggantikan kamu! Bisa buat aku tertawa lepas, sehingga aku tidak perlu memakai senyum palsuku. Tapi, kenyataannya ? Tidak ada salah satu dari mereka yang bisa! Ga ada! Dan kalau begitu siapa yang disalahkan ? Aku? Iya semua memang salah aku! Aku yang salah! Tapi , karena aku masih punya hati, aku menolak mereka, bukan menerima mereka dengan alasan kasihan!Semua perjuangan aku untuk lupain kamu tidak ada hasilnya.Aku ga tahu kenapa. Kenapa kamu selalu jadi bayangan aku. Padahal aku udah coba segala cara. Sekarang kamu puas? Aku udah jelasin semuanya ke kamu! “ Aku menyeka air mata yang tidak berhentinya mengalir. Sekujur tubuhku gemetar. Aku sangat takut, sedih dan menyesal. 
                “ Aku tahu.. Makasih Ellie untuk semua masa-masa dulu. Ellie, aku tahu kamu masih engga bisa menerima semuanya. Tapi satu hal, kadang pilihan yang terbaik adalah menerima. “ Eric menatapku lekat-lekat, ia menggenggam tangan kiriku. Jelas, tangannya lebih hangat dari pada tanganku yang sudah pucat seperti wajahku saat ini. Tubuhku mulai merasakan tetesan air hujan jatuh bergiliran. Tidak sampai satu menit, hujan itu mulai menderas. Eric melingkarkan tangannya dibahuku , mendekapku dekat. Kini aku bisa mendengar detakan jantungnya yang tak kalah cepatnya dengan detakan jantungku. Aku menangis, aku menganggap ini bukanlah sebuah jawaban atas pertanyaanku. Aku menjauhkan diriku. Aku coba menatapnya lekat, dan kini , kami berdua benar-benar basah. Hujan semakin menhujam deras.
                “ Kita masih bisa bersama. Namun, tetap tidak seperti dulu.”
                Hatiku teriris pedih, bukan ini yang aku mau. Cuma, aku harus buat apa? Aku menangis sejadi-jadinya, aku tahu dia takkan menyadarinya karena aku menangis dalam hujan. Ia memberikan senyum manisnya, senyum terakhir menurutku.
                “ Pulanglah.. “ ia membukakan pintu mobilku. Aku tidak berkata apa-apa. Sekarang pikiranku kacau.  Aku mencoba mengatur pernafasanku kemudian memasuki mobilku, mengidupkannya dan pergi menjauhi lelaki itu. Aku masih meliriknya dibalik kaca mobil. Mataku mengucapkan kata terakhir yang seakan dapat ia tangkap.
                Eric... Ini akan menjadi lebih sulit dari sebelumnya....        
                                                                                         ***

0 komentar:



Posting Komentar