Sesal
“Rambutnya tebel ya ,Ta. Jaketnya kemarin yang warna biru pasti lagi di cuci.
Itu sekarang dia pake jaket warna abu-abu, aku berani taruhan besok dia pake
yang warna biru tua dengan tulisan ‘Beat’ warna hitam . Oh my God.. cara jalan
dia cool banget. Salah satu tangannya selalu
aja di masukin dalam kantong celananya... Ya ampun ,Ta . Senyumnya manis gila..
Ta! Ta! Dia liat aku ! Resta!”
“Hah? Apaan ,Vin?” Resta mengalihkan pandangan matanya ke arah wajahku yang
mulai terlihat jengkel.
“Dengerin aku ga sih?” Mulutku mencibir. Dari raut wajah Resta udah bisa
ditebak, pasti dia ga dengarin aku lagi. “ Udah bosen ya dengerin aku ngoceh
tentang dia?” tanyaku sebelum sempat Resta menjawab pertanyaan pertamaku tadi.
“Iya, iya. Sorry, habis tadi ada Daniel di depan kelas. Hehehehe...” jawab
Resta sambil menyungingkan senyum kepada seorang cowok kurus yang lagi berdiri
didepan kelas 9.2. Daniel. Yah, belakangan ini memang Resta lagi deket banget
sama Daniel. Katanya sih Daniel suka sama Resta, tapi sayangnya sahabatku yang
satu ini suka banget jual mahal.
“Ciee! Dia senyum balik ,Tuh!” godaku genit.
“Ih! Apaan sih! Sudah ah! By
the way tadi kamu manggil aku
kenapa?” tanya Resta dengan muka polos minta di jitak. Aku langsung mengadahkan
kepalaku ke lapangan tengah sekolah, kemudian mataku melihat kantin di ujung
lapangan. Nihil. Wajahku tambah cemberut , rasanya kesal banget. Padahal mata
ini belum puas ngeliatin cowok itu. “Engga ada .Lupain aja” Jawabku singkat.
Kring.....Kring....
“Vin, udah bel. Masuk yok!” Resta menarik pergelangan tanganku . Menjauh dari
balkon favoritku yang strategis dimana aku bisa ngeliatin cowok itu
dengan sepuas yang ku mau.
****
Warna oren mendominasi warna langit sekarang ini. Aku berjalan tergopoh-gopoh
ke sebuah meja yang terletak di jalan masuk aula sekolah. Panggung, dekorasi , soundsystem dan segala perlengkapan acara Prom
Night malam ini sudah siap. Para pasangan telah berbaris di depan meja
penerimaan tamu. Mereka yang biasa kulihat dengan baju seragam sekolah,
sekarang tampak anggun dan keren sekali . Banyak cowok-cowoknya memakai kemeja
, dan dasi yang menggantung gagah di lingkaran leher mereka, ditambah dengan
jas hitam sebagai penambah luaran baju mereka. Apalagi cewek-ceweknya, dress
yang melekat di tubuh mereka lebih bervariasi.
“Mulai yuk , pendaftarannya” Suara Vincent membuatku tersadar. Vincent,
bukan, dia bukan pasangan Prom Nightku. Aku dan dia Cuma ditugaskan untuk
menerima tamu Prom Night.
“Ya sudah.” Aku melambaikan tangan memberi aba-aba kepada para tamu bahwa
mereka sudah bisa mengisi daftar kedatangan sekarang.
Yang hadir memang tidak begitu banyak. Hanya sekitar 115 pasangan . Namun,
segitu saja sudah hampir memenuhi Aula sekolah yang lima menit lalu masih
kosong.
****
Tiga puluh menit , acara telah berlangsung. Kemana dia? Iya, dimana cowok itu?
Langit benar-benar sudah menghitam. Tidak banyak bintang yang berserakan .
Hanya bulan sabit yang melengkung anggun dan bersinar terang yang menghiasi
langit malam kali ini. Lagu demi lagu yang mengiringi acara malam ini terdengar
samar-samar dari luar aula. Kenapa aku tidak masuk saja? Bercanda , menari,
tertawa dan bersenang-senang dengan teman-teman lainnya? Padahal, Vincent sudah
mengajakku untuk bergabung tadi. Cuma, aku masih menunggu dia.
Tetesan
air mata mulai mengalir di kedua pipiku. Pilu yang kurasakan saat ini. Aku
hanya bisa mengenang. Berharap , sangat-sangat berharap dia akan datang malam
ini. Kemungkinan itu memanglah kecil adanya.
“Vin...
Kamu mau minum?” suara yang sudah sangat kuhafal. Resta . Sahabatku ini memang
selalu ada di saat hatiku gundah seperti ini.
“Resta...”
sekarang alis matanya melengkung penuh keprihatinan. Dia melihat jelas wajahku
yang basah. Disodorkannya sehelai tisu kepadaku. Aku semakin menangis.
Benar-benar tidak sanggup lagi. Resta merangkul pundakku, aku menangis sejadi-jadinya
di pundaknya. Malam itu , malam valentine dimana pasangan harusnya berbagi tawa
dan canda. Tapi, bagiku malam ini, hanyalah hari Sabtu biasa, hari dimana aku
benar-benar merasa sangat kehilangan.
“Sudahlah
,Vin. Semuanya kan sudah terjadi. Waktu ga bisa di ulang kembali.” Kurasakan
tangannya mengelus-elus punggungku. Resta benar. Namun, ucapan itu malahan
membuatku semakin terpuruk. Apakah masih bisa semua diulang dari awal? Apakah
aku bisa membalikkan waktu? Semua kenyatan bahwa aku tentu tidak bisa
melakukannya membuat hatiku teriris. Mataku tidak henti-hentinya mengeluarkan
air mata. Sejenak, aku mengangkat kepalaku untuk menormalkan pernafasanku.
Aku
terdiam. Tatapanku kosong. Rasanya semuanya susah diterima. Bisa kah aku dan
dia bersama lagi setelah apa yang telah aku lakuin? Dikepalaku menghujam seribu
tanya tentang hubunganku dengannya. Aku benar –benar ingin dia berada disini
sekarang.
“Aku
mau pulang” Resta hanya terbengong mendengar jawabanku.Namun kemudian dia
mengerti. Dia mengeluarkan handphonenya dari sakunya dan menyodorkannya ke
aku “Pakai aja handphone ku”. Tanpa menjawab apa-apa, aku langsung
menelepon Mama ku.
“Ma,
jemput aku sekarang” pintaku cepat.
“Sekarang?”
tanya Mamaku ragu
“Iya.”
Aku meyakinkan mamaku, kuusahakan agar suaraku terdengar normal.
“Tunggu
ya sekitar 20 menit lagi. Nanti mama jemput. Bye”
“Bye”
Aku
menutup telepon dan memberikannya kembali kepada Resta. Aku hanya membisu. Aku
ingin pulang , aku tidak bisa menunggu seperti ini lagi.
“Vin..”
Resta memanggilku pelan. Perasaanku sedikit aneh mendengar cara Resta
memanggilku.
Tiba-tiba
aku menyadari sesosok lelaki dengan kemeja biru berjalan mendekatiku. Dia...
“Hai”
suaranya yang berat yang benar-benar aku rindukan meledakkan jantungku. “Hai”
balasku pelan. Ya Tuhan.. perasaanku benar-benar campur aduk sekarang.
Resta
menyunggingkan senyum kecil . Dia berjalan menjauh dari kami. Aku hanya
menunduk. Aku sama sekali tidak tahu harus berbuat apa. Senangnya bukan main.
“Ehm,
tadi aku barusan mampir ke warung, aku bawaain ini buat kamu.” Dia duduk di
depanku dan mengeluarkan sebuah coklat chunky bar warna hitam dari tas nya.
Meletakkanya di atas meja , mendorongnya mendekat ke tanganku. Aku hanya
terpana melihat coklat itu. Apa kah aku mimpi? Apa ini jawaban atas doaku? Ini
kenyataan? Atau aku yang sudah mulai berkhayal terlalu jauh?
“Makasih.
Bukan, bukannya ka-kamu sibuk? Kok bisa datang kesini?” tanganku hanya memegang
coklat itu tanpa membukanya. Aku mencoba untuk membuka percakapan. Suaraku
terbata. Aku benar-benar tidak merasakan tanah.
“Tadi
aku sempetin dateng kesini” jawabnya singkat. Aroma ini, aroma tubuhnya yang
khas. Aku sangat merindukannya. Aku mengirup sangat dalam aroma tersebut .
Seakan berharap aroma tersebut dapat kusimpan dihidungku. Aku hanya tertunduk
malu. Aku tidak berani menatap matanya. Aku tidak berani mengangkat kepalaku
sendiri.
“Kenapa
coklatnya dibiarin? Sini, aku bukain” dia mengambil coklat itu dari atas meja.
Aku menatap setiap gerakan tangannya. Dia menyobek karton coklat, menarik
keluar coklat yang masih terbungkus kertas bewarna emas . “Aku belah dua ya?”
aku hanya mengangguk kecil. Dia membelah coklatnya menjadi dua bagian. “Mau
yang mana?” dia menawarkanku. Aku hanya mengulurkan tanganku mengambil belahan
coklat yang dia pegang di tangan kanannya.
Rasanya
benar-benar mimpi. Aku tidak menyangka ini bakal terjadi. Dua bulan lalu adalah
terakhir aku dan dia duduk sedekat ini. Rasa bahagia benar-benar tumbuh
kembali. Dia membuka obrolan-obrolan ringan. Dan aku, mulai terbiasa kembali
untuk berbicara dengannya. Menikmati setiap detik-detik acara prom berakhir.
Ini yang aku rindukan . Setiap pendapat yang dia keluarkan, setiap cerita ,
setiap tatapan yang dia berikan, dan setiap humor yang dia ucapkan. Dan aku
setengah percaya bahwa sekarang aku merasakannya .Kembali.
Sayangnya,
hanya satu jam aku dan dia bersama. Acara prom telah selesai . Tepat pukul
sembilan malam.
“Kamu
kesana gih sama temen-temen, biar aku pulang” kalimat ini dulu selalu keluar
dari mulutnya kalau dia ingin pulang. Dan aku memberikan jawaban yang sama
seperti biasanya dulu.
“Sudah
, pulang aja. Toh , kamu kan sibuk. Nanti pas kamu pergi aku juga ke sana kok”
Hatiku
bergejolak penuh harap. Aku berharap dia mengucapkan kata yang mengembalikan
hubunganku dengannya. Semenit, dua menit, tiga menit. Namun, dia hanya membisu.
Dia kemudian hanya mengulangi perintah yang sama padaku, begitu juga aku.
Hingga akhirnya , ia memutuskan untuk pergi . Dan aku tidak sama sekali
mendapatkan kata-kata yang kuharapkan. Andai dia berkata “ Aku rindu kita yang
dulu “. Namun, kenyataannya, tak ada kata-kata yang menjawab setiap pertanyaanku.
***
“Vin,
gimana ? Seneng yaa?? Hehehehe” Resta menepuk pundakku. “Seneng, Cuma aku
ngerasa ada yang masih belum plong. Eh, mama aku?” aku menepuk jidat ,
menyadari bahwa aku lupa mengabari mamaku bahwa aku tidak jadi dijemput secepat
itu.
“Tenang aja, udah aku kasih tau tadi lewat sms. Mamamu bilang oke. Entar lagi
dijemput kok. Maksud kamu masih belum plong apa?”
Aku
hanya terdiam. Tadi itu memang menyenangkan. Tapi perasaanku berkata, itu bukan
jawaban atas semuanya.
***
Lampu jalan memancarkan sinar remang-remang. Angin terasa menusuk-nusuk
kulitkuyang tidak tertutup. Melangkah menyusuri pinggir jalan. Senyum besarku
melekat erat di wajahku sepanjang jalan pulang. Sambil sesekali melakukan
lompatan-lompatan kecil . Bersiul kecil, membayangkan momen indah yang seperti
mukjizat tadi.
Grrr...grrr...
Handphone yang sedari tadi ada di saku dressku bergetar. Kulihat nama yang
tertera di layar handphone. Dia? Jantungku berdegup kencang. Berjuta pertanyaan
dan bermilyaran perkiraan muncul dalam benakku. Kenapa?
“Halo, Der. Kenapa?”
“Halo, Vin. Aku cuma mau bilang. Aku ngelakuin itu semua..”
Deg!
Aku benar-benar senang sekali. Apakah benar dia akan kembali lagi ?
“Kita cuma sekedar teman. Aku engga mau ngeliat kamu galau lagi. Udah dulu ya
,Vin.Aku senang kalau kamu senang. Bye”
Tuut...tut...
Bisu. Aku hanya mematung.
Dia
dan aku, pernah memang bersama. Dekat sekali. Dia seorang yang humoris. Tawaku
selalu mebludak saat bersama berbagi cerita dengannya. Dia seorang yang
perhatian. Luluh rasanya hati ini setiap kali dia menanyakan hal-hal tentangku
yang membuatnya khawatir. Semula, hariku memang biasa-biasa saja, malah
terkesan membosankan. Namun, sejak kenal dengannya, berbeda rasanya. Rasanya
itu, semangat 45 selalu menemani ku dikala bangun setiap paginya. Lagu-lagu
seperti All About Us, Forever More, Thousand Years terdengar lebih romantis
dari pada biasanya.Rasanya terlalu indah
Tapi, Itu dulu. Bodohku saat semua keindahan itu berjalan selama tiga bulan
lamanya, aku putuskan untuk meruntuhkannya. Aku? Iya, aku sendiri yang
menghancurkannya, membuat hubungan itu menjadi pecah berkeping-keping. Aku
dengan kebodohanku meninggalkannya hanya karena kejenuhanku dan emosi sesaatku.
Aku tidak suka dengan caranya yang terlalu membanding-bandingkan aku dengan
yang dulu. Dan, saat itulah tepat di bulan Januari. Aku putuskan untuk
meninggalkan semuanya. Semua kenangan, menghilangkan semua memori indahku
bersamanya . Aku bahkan membiarkannya merasakan sakit yang mendalam setelah
mengetahui bahwa aku tidak bisa melanjutkan hubungan seperti ini dengannya. Aku
keluarkan semua alasan bodoh yang tidak benar-benar keluar dari hatiku. Alasan
fokus belajar , alasan ketinggalan pelajaran dan omong kosong lainnya. Tega.
Saat itu aku benar-benar tega. Membiarkannya terpuruk , bersedih ,terluka.
Begitu besar pengorbanannya padaku. Dia yang memulai , dan saat itu aku yang
mengakhiri dengan kepedihan.
Awalnya,
dia masih ingin berkomunikasi denganku. Namun , aku yang masih dikuasai emosi
ku, tidak sama sekali peduli. Aku seakan melemparkannya jauh dari hidupku. Aku
seakan menghancurkan segala harapannya. Keterlaluan sudah. Aku sama sekali
tidak berfikir panjang atas berbuatanku itu. Hingga saat aku memintanya
kembali, dia menolak .
Dan kini aku merasakannya. Saat terluka. Saat merasa dikhianati. Saat merasa
disakiti. Saat semua harapan yang dibangun hancur. Penyesalan menyelimuti
hatiku. Rasa sesal yang tertinggal sekarang. Sesal...
0 komentar:
Posting Komentar