Sulit
Cahaya
matahari menembus kaca jendelaku. Drag! Ku dengar bunyi jendela dibuka, dan seketika aroma
rumput hijau, hangat pagi dan angin yang sejuk menyeruak memenuhhi ruangan
kamarku yang tidak begitu besar. Kelopak mataku tak kuat lagi untuk menutup. Ah.. jam berapa ini? Mataku berkedip-kedip.
Penglihatanku benar-benar masih buruk, mataku tidak dapat menerima cahaya
matahari pagi yang begitu frontal menghadang wajahku.
“ Elie,
ini udah jam tujuh loh.. Bangun dong,
masa anak cewek bangunnya siang?” suara yang sangat kukenal seakan menjawab
pertanyaan yang ada dikepalaku ‘jam
berapa ini?’ . Aku mengucek kedua mataku. Nah,, sekarang lebih jelas.
“ Iya,
Ma. Ini juga Ellie udah bangun..” aku berjalan sempoyongan. Tulang-tulang
tubuhku masih sangat lemah rasanya. Ah..
aku benci bangun pagi , gumamku dalam hati. Aku berjalan menuju kamar
mandi, sementara Bunda melangkah keluar ruangan pribadiku ini.
Brr..
brr.. tanganku mendekap erat handuk yang menyelubungi tubuhku. Gigiku bergetar.
Sungguh, pagi ini dingin sekali. Aku duduk sebentar diatas tempat tidurku ,
mencoba untuk menghangatkan diri. Mataku tidak sengaja menatap layar
handphoneku yang berkelap-kelip. Ada
message? Pasti dari Bram.. Huh.. gumamku dalam hati.
***
“ Kok
kamu ga bales pesan aku? Kamu kenapa?” Suara disebrang sana segera menyerobot
masuk ke telingaku sebelum aku sempat menyapa ‘Halo’.
“ Aduh,
sorry Bram. Memangnya ada apa , Bram ?” Aku mencoba mengalihkan pembicaraan
tentang pesan itu. Tapi, kedenngarannya tidak akan berhasil. Bram masih
mengungkit-ungkitnya lagi.
“ Kok
kamu jadi berubah gitu ? Ada apa? Cerita dong.. “ Dia membuatku benar-benar
risih. Haruskah dia se-kepo itu ?
keluhku dalam hati. Sesaat keheningan
mengisi konversasi kami berdua. Kemudian, dia melanjutkan kata-katanya
lagi yang bagiku seperti ocehan.
“ Aku
mau ketemu sama kamu. Di Tekko restaurant, entar malem. Aku jemput kamu jam
lima ya ?” Deg! Buat apa dia ngajak aku
ke sana? Aku berpikir keras. Aku mengigit bibir bawaku mencoba mencari
jawaban yang tepat untuk menolak. Tapi, perasaanku tak tega.
“ Oke
deh, Bram. Sip, aku tunggu . “ aku menghela nafas panjang. Apapun yang terjadi nanti, terjadilah..
“ Sip,
Bye Ellie..” dia mengucapkan salam terakhir, yang menurutku selalu kedengaran
manis.
“Bye
Bram.” Jawabku singkat.
***
Aku
menghempaskan tubuhku di atas kasur. Hari
libur begini enaknya ngapain ya? Wajahku
benar-benar menunjukan kebosanan yang sangat. Jam di dinding masih menunjukan
pukul 12 siang. Sebenarnya, aku benar-benar tidak ingin bertemu dengan Bram.
Pikiranku melayang tentang Bram. Bram, bukan, dia bukan cowokku. Tidak ada
ikatan resmi apapun diantara kami. Mungkin lebih tepatnya HTS = Hubungan
Tanpa Status. Tapi, aku engga mengakui
hal itu. Mungkin dia yang berpikiran demikian. Aku hanya menganggapnya sebagai ‘teman’
walau kadang aku suka dengan perhatiannya kepadaku. Aku masih sulit .. Sulit
untuk menempatkannya di hatiku..
***
“ Bram,
“ aku menarik nafas panjang, dan menghembuskannya pelan. Semua keberanian aku
kumpulkan . Aku tahu akan ada hal besar diantara aku dan dia setelah aku
menyatakan ini. Namun, aku yakin , aku tidak mau lagi menyiksa diriku. Jawaban
ini, memang benar-benar tepat.
“ Aku
menganggap semuanya, layaknya teman.” Kediaman mengisi kekosongan percakapan
kami setelah kata-kata itu aku keluarkan dari mulutku. Sial, kenapa dia jadi diem begini? Aku ingin benar-benar pulang
sekarang. Ayolah, bicara sesuatu agar
semua ini cepat selesai!.. gerutuku dalam hati.
“
Orang-orang memang benar ternyata” Bram berkata pelan . ia menatap mataku
lekat-lekat.
Orang-orang ? Apa maksudnya? Apa dia akan
menyinggung sifatku yang sering mengecewakan laki-laki.. Oh, dan kini dia
termakan gosip itu? Sial.. Pikiranku
kacau. Ingin sekali aku angkat kaki secepat kilat dari tempat ini. Restaurant
ini biasanya memberikan nuansa santai, sekarang sangat meneganggkan.
“ Kamu,
kamu kenapa ngelakuin ini? Apa hati kamu emang
sekeras batu? Atau memang tujuan kamu begini sama setiap laki-laki yang
udah sayang sama kamu?” dia bertanya dengan tatapan yang masih tajam ke arahku.
“
Kamu!..” aku berhenti. Hampir saja emosi menyelimuti diriku. Aku memperbaiki
cara dudukku. Kemudian aku lanjutkan perkataanku dengan suara tertahan .
“ Kamu
ga tahu apa-apa tentang aku. Engga sama sekali. Kamu sama aja, berfikir bahwa
aku ini jahat! Aku ini seperti player! Aku tahu, udah banyak memang cowo-cowo
yang dekat denganku yang hatinya sering aku sakiti karena penolakan. Hati ga
bisa dipaksain,Bram! Ga bisa! Aku mau pulang. Maafkan aku buat semuanya. Aku
benar-benar tidak bermaksud demikian..” Mataku panas, aku tidak kuat menahan
lagi semua kekecewaan dihati aku. Aku tidak peduli lagi, gosip apa yang akan
menimpaku dihari-hari berikutnya. Setidaknya Bram tahu, aku engga bermaksud untuk
melukainya. Apa salahnya aku menolak
mereka?..
***
Langit
sore seperti ini menyejukkan perasaanku yang masih pedih. Aku tidak terbiasa
untuk mencurahkan perasaan ku kepada orang-orang sekitar, ataupun teman-teman
dekatku. Aku mematikan handphoneku , hari ini aku tidak mau diganggu oleh
siapapun. Aku duduk dibawah pohon , menatap langit kemerahan, menatap kotaku
sendiri. Aku mencoba menenangkan
pikiranku. Kejadian kemarin masih terus terulang dikepalaku. Aku terlalu terbawa
emosi sepertinya. Tidak seharusnya kata-kataku sekasar itu. Tidak seharusnya aku
menuduhnya seperti itu. Ah.. sudahlah..
semua udah terjadi.. aku termenung. Aku sudah menyadari hal ini akan
terjadi. Mungkin, aku akan berhenti untuk memasukkan mereka kedalam
kehidupanku. Aku masih belum bisa membuka hatiku. Sulit, sulit benar. Setetes
air mata mengalir dipipi kanan dan kiriku. Semakin lama , semakin deras. Salahkah aku kalau masih merindukan yang
seharusnya aku lupakan? Bisikku dalam hati. Aku kira, aku sudah dapat
menerima kenyataan ini. Aku kira, semuanya sudah berjalan biasa saja. Tapi,
kali ini aku akui, semua pendapatku itu salah. Aku belum sepenuhnya menerima
kenyataan. Sulit..
Aku
berhenti untuk bercerita kepada orang-orang terdekatku. Semua usaha itu
percuma. Menceritakan masalahku ini hanya membuat bibirku lelah saja. Tidak ada
sebuah jalan keluar yang kudapatkan. Serasa semuanya itu tidak berguna untuk
diceritakan. Mereka tidak mengubah apapun. Mereka hanya mengeluarkan nasihat
yang sama yang membuatku muak.Itulah mengapa aku putuskan untuk diam. Waktu
memang jawaban yang tepat untuk semua kegundahan hatiku, tapi kini ku rasakan
waktu tidak berperan banyak dalam perasaan ini. Dari dulu, sejak dulu, lama
sekali, aku yakin waktu akan menghapus semuanya. Membawa pergi semua rasa dalam
hatiku. Semula, aku yakin waktu akan membuatku berdiri tegak, dengan gelak-tawa
yang dulunya sering menghiasi hidupku. Aku sudah beranjak dewasa. Namun, hatiku
seakan tidak beranjak untuk bangun.
Ini
hari kelahiranku. Hari dimana seharusnya aku bisa tertawa, memberikan senyum
termanisku kepada semua orang yang kukenal. Usiaku sudah 17 tahun. Seharusnya, aku
pulang sekarang. Merayakan sweet-seventeen berasama teman-temanku lainnya.
Huh... Kini, wajahku benar-benar basah.
***
“Ellie,
aku mohon, kasih aku kesempatan.. “ suara beratnya menancap tajam ke telingaku.
“ Dari
awal aku sudah bilang sama kamu , bukan? Aku sudah membatasi percakapan kita sehingga
kamu tidak menganggap aku memberikan harapan kepadamu. “ aku menjawab sambil
membuka lembaran buku sejarah yang baru saja aku ambil dari rak paling kiri perpustakaan.
“Aku tahu,
El. Apa kamu engga mau ngasih aku kesempatan ?” ia mengulang kembali
pertanyaannya. Matanya menatapku lamat-lamat. Aku mencoba memfokuskan tatapanku
pada buku sejarah yang terbaring terbuka diatas meja.
“ El?”
dia memanggil namaku pelan. Tak sabar akan jawabanku.
Aku
meletakkan kaca mataku ke dalam kotaknya. Menutup buku sejarahku. Semua emosi
tertahan di tenggorokanku. Ingin rasanya aku meluapkannya. Namun, ini perpustakaan
, lagian aku tidak ingin menyakiti orang-orang dengan perkataanku. Kini, mataku
menatapnya tajam. Aku meyakinkannya bahwa aku benar-benar tidak ingin mempunyai
hubungan apa-apa.
“Maaf,
jangan paksa aku, Vid. “ aku beranjak dari kursiku. Meninggalkan buku sejarah
yang tadinya ingin aku pinjam. Langkahku aku percepat. Aku tidak ingin dia
mengejarku dan menutupi jalanku.
***
“ Gue
mau ngomong, Bro. “ suara sebrang sana terdengar sangat serak. Seakan habis
menangis semalaman.
“He-eh,
ngomong aja , Vid. Kenapa sih? “ Eric menaikkan alis mata kanannya. Ia sibuk
mengganti channel tv-nya.
“ Ke
alun-alun lah sekarang. Gue beneran mau ngomong. “ pinta Vidi ini membuat Eric
semakin penasaran.
“
Ngomong aja lah. Masa pake ketemuan segala nih. “ Eric membentukan cara
duduknya. Ia mengambil segelas air putih yang sedari tadi ada di atas meja.
“ Ah..
lu kan temen gue. Ayolah..” suara bujukannya
membuat Eric segera mematikan televisinya.
“ Iya,
iya ini gue mau berangkat. “ Eric mematikan teleponnya. Ia mengganti
pakaiannya, mengambil dompetnya yang
terbaring di atas kasurnya. Langkahnya cepat menuruni tangga. Mengucapkan salam
pada Ibunya dan mengambil kunci motor Scoopy-nya dari laci meja ruang tamu.
Kira-kira Vidi mau ngomong apaan?..
***
Matanya
berkaca-kaca. Helm LTD hitamnya ia letakkan disamping kakinya. Ia
menyembunyikan tengisanya, ia tidak mau terlihat seperti cowo culun yang
cengeng didepan sahabatnya , Eric. Dia dan Eric memang teman yang dekat, mereka
berdua dekat sejak MOS SMA tahun lalu.
“
Yaelah, Vid.. Cewe kan banyak di dunia ini. Mungkin aja kan, dia lagi engga
pingin punya pacar. Kalau jomblo , lu ga mati juga kan? “ Eric mencoba
menghibur partner dekatnya itu dengan gaya StayCool
–nya.
Vidi mengusap air matanya. Jujur, sebenarnya dia malu kalau harus menangis seperti
ini. Cuma, beginilah dia, selalu terbawa suasana.
“
Lagian siapa sih cewenya? Gue jadi penasaran. Katanya anak 11-1 ? “ Eric mulai
mengkerutkan dahinya.
“Ellie”
Vidi menjawab singkat. Menahan tangis yang sepertinya akan semakin banyak
mengalir .
Deg!
Jantung Eric berdetak kencang. Ellie? Sudah lama dia tidak mendengar kabar dari
gadis satu ini. Pikirannya kini mulai melayang jauh. Ellie? Kenapa baru kali
ini dia ingat tentang gadis itu lagi. Selama ini, tidak pernah ia melihatnya
lagi, atau memang dia yang telah tidak peduli dengan gadis ini, gadis yang
telah..
“ Woy,
Eric? Eriiic? Lu kenapa ngelamun gitu?” Eric melonjat kaget.
“Ah? Kenapa?
Engga papa hahaha “ Eric mencoba bersikap biasa. “Memang dia digosipin player
ya? Kok bisa? “ Tanya Eric penasaran.
“ Iya ,
aku denger sih gosipnya, dulu Bram yang pernah PDKT sama dia , dan saat di
tembak, si Ellie malah nolak mentah-mentah , yah si Ellie bilang , hati itu ga
bisa dipaksain . Nah, terus , gue pernah nanya-nanya sama sahabatnya, katanya
sih, dia ga bisa ngelupain masa lalunya gitu. Entah masa lalu apa, ga ada yang ngasih tau lebih jelasnya ke gue.Kata temen-temen dekatnya si Ellie itu tertutup banget” Hidung
Vidi kini seperti udang rebus, walaupun tangisannya kini udah raib, mungkin dia
udah merasa lebih tenang.
Ellie? ..
***
Parkiran
sekolah kini sudah benar-benar sepi. Aku menjinjing buku-buku tebal dan beberapa
kertas fotokopian . Ugh, berat sekali! Keluhku dalam hati. Aku mempercepat
langkahku menuju mobil Mini-Cooper warna
merah yang merupakan satu-satunya mobil diparkiran sekolah. Aku melirik jam
tanganku. Jam lima sore, langit udah tampak buram. Angin berhembus lebih cepat
dan dingin sekali. Bakalan hujan nih? Aku berlari kecil . Tapi, tiba-tiba
ketika aku mulai dekat dengan mobilku. Aku merasakan seseorang menepuk pundakku
. Deg! Siapa itu? Aku berhenti
sejenak, membalikkan badanku pelan-pelan. Deg!
Ini sudah sekian lamanya jantungku tidak pernah berdegub sangat-sangat keras saat
berhadapan dengan seseorang . Dia... Dulu, aku lebih tinggi dari pada dia, saat
berjalan berdampingan, itu bisa kelihatan. Namun, sekarang, dia berhadapan
dengan seseorang yang lama tidak pernah berada disampingnya, dan ia sudah lebih
tinggi dari pada aku.
Hening.
Sepi sekali. Hanya ada aku dan dia di tengah-tengah lapangan parkir seluas ini.
Dia tersenyum padaku, membuat jantungku benar-benar berdegub lebih kencang
lagi. Ya Tuhan, apa ini mimpi? Aku
membalas senyumnya. Oh tidak.. tatapan yang sudah lama aku rindukan..
“Sini ,
aku bawain.. “ dia mengulurkan tangannya . Aku hanya mengangguk kecil, bibirku
seakan membeku. Dia mengambil sebagian buku dari tanganku. Dan , kini tanganku
lebih leluasa bergerak. Kami berjalan
menuju mobilku. Ku buka pintu mobil tersebut, dan kubiarkan dia menaruh buku itu
diluan, kemudian aku. Setelah itu aku menutup pintu mobilku, dan kini tangannku
benar-benar dingin.
“Aku
mau bicara.. “ raut wajahnya berubah menjadi serius.
“Bi-bicara,
ten-tentang apa? “ Oh tidak.. Aku
mulai berbicara dengan terbata-bata. Dia teridiam sesaat .
“ Er.. Ellie, Aku
kecewa.. Aku kecewa kamu sudah berubah jadi begini. Aku kira kamu bisa mengambil
semua pelajaran dari masa lalu kita. Tapi, aku engga nyangka, kamu jadi berbeda
dari dulu.. Kamu kenapa? Kenapa kamu jadi nyakitin banyak orang?”
Aku
terdiam, mataku nanar. Sungguh, aku tidak menyangka dia akan mengatakan hal
ini. Jujur, aku mengharapkan ada kata-kata lain yang dia ucapkan. Mataku tidak
berani mentapnya. Aku menunduk, menutupi pandangannya dari mataku yang mulai
berkaca-kaca.
Ellie, ayo katakan sesuatu.. kenapa lidahku seakan
membeku? Gerutuku dalam hati.
“ Aku
ga mau ngeliat kamu jadi begini. Yang lalu, biarlah berlalu. Semua udah
terjadi, antara kamu, aku .”
Hatiku
bergejolak, bercampur aduk. Emosi ku yang mudah terpancing kini benar-benar sudah
berada diambang bibirku. Aku tidak kuat menahan semuanya. Ini mungkin
waktunya..
“ Iya
semuanya sudah terjadi. Aku tahu, apa kamu ga bisa berhenti ingetin aku kalau
semuanya udah terjadi? Aku juga ga bodoh-bodoh amat . Aku tahu kok. Aku tahu.
Dan, kamu salah satu orang yang masih termakan gosip tentang aku, terserah kamu
mau mikir apa. Terserah!” aku tidak dapat lagi mengatur volume suaraku. Air
mata membanjiri pipiku.
“
Ellie.. bukan maksud aku..”
“ Apa?
Kamu mau aku ngaku , hah? Oke, aku ngaku sekarang! Aku memang masih punya
perasaan. Dan aku ga tau kenapa aku ga bisa melupakan semuanya. Aku tahu dulu
itu salah aku, aku tahu kamu benci sama aku. Aku tahu yang aku lakuin itu bodoh
banget ! Aku udah nyia-nyiain segalanya. Dan, hal yang lebih bodohnya lagi, aku
membiarkan saja semua masalah itu terkubur dalam-dalam ,aku pura-pura udah
benar-benar pulih! Dan kamu tahu kenapa aku nyakitin mereka? Aku biarkan mereka
masuk dalam kehidupan aku. Aku biarkan mereka merebut hati aku. Membiarkan mereka
melelehkan kerasnya hati aku. Jangan kira aku ga berusaha untuk ngeluapain kamu
dan semua kenangan busuk itu! Aku semula berharap salah satu dari mereka bisa
menggantikan kamu! Bisa buat aku tertawa lepas, sehingga aku tidak perlu
memakai senyum palsuku. Tapi, kenyataannya ? Tidak ada salah satu dari mereka
yang bisa! Ga ada! Dan kalau begitu siapa yang disalahkan ? Aku? Iya semua
memang salah aku! Aku yang salah! Tapi , karena aku masih punya hati, aku
menolak mereka, bukan menerima mereka dengan alasan kasihan!Semua perjuangan aku untuk lupain kamu tidak ada hasilnya.Aku ga tahu kenapa. Kenapa kamu selalu jadi bayangan aku. Padahal aku udah coba segala cara. Sekarang kamu
puas? Aku udah jelasin semuanya ke kamu! “ Aku menyeka air mata yang tidak
berhentinya mengalir. Sekujur tubuhku gemetar. Aku sangat takut, sedih dan
menyesal.
“ Aku
tahu.. Makasih Ellie untuk semua masa-masa dulu. Ellie, aku tahu kamu masih
engga bisa menerima semuanya. Tapi satu hal, kadang pilihan yang terbaik adalah
menerima. “ Eric menatapku lekat-lekat, ia menggenggam tangan kiriku. Jelas,
tangannya lebih hangat dari pada tanganku yang sudah pucat seperti wajahku saat
ini. Tubuhku mulai merasakan tetesan air hujan jatuh bergiliran. Tidak sampai
satu menit, hujan itu mulai menderas. Eric melingkarkan tangannya dibahuku ,
mendekapku dekat. Kini aku bisa mendengar detakan jantungnya yang tak kalah
cepatnya dengan detakan jantungku. Aku menangis, aku menganggap ini bukanlah
sebuah jawaban atas pertanyaanku. Aku menjauhkan diriku. Aku coba menatapnya
lekat, dan kini , kami berdua benar-benar basah. Hujan semakin menhujam deras.
“ Kita
masih bisa bersama. Namun, tetap tidak seperti dulu.”
Hatiku
teriris pedih, bukan ini yang aku mau. Cuma, aku harus buat apa? Aku menangis
sejadi-jadinya, aku tahu dia takkan menyadarinya karena aku menangis dalam
hujan. Ia memberikan senyum manisnya, senyum terakhir menurutku.
“
Pulanglah.. “ ia membukakan pintu mobilku. Aku tidak berkata apa-apa. Sekarang
pikiranku kacau. Aku mencoba mengatur pernafasanku kemudian memasuki mobilku,
mengidupkannya dan pergi menjauhi lelaki itu. Aku masih meliriknya dibalik kaca mobil. Mataku mengucapkan kata terakhir yang seakan dapat ia tangkap.
Eric... Ini akan menjadi lebih sulit dari
sebelumnya....
***